LANGITJAMBI, JAMBI_ Indonesia dan dunia saat ini menghadapi paradoks serius: hukum tetap diklaim sebagai instrumen keadilan, tetapi pada saat yang sama semakin sering digunakan sebagai alat kekuasaan. Fenomena ini tidak hadir melalui pembangkangan konstitusi secara terbuka, melainkan melalui regulasi sah yang secara substansial justru menggerus kebebasan sipil.
Di era digital, hukum tidak lagi berdiri netral. Ia bertransformasi menjadi mekanisme pengendalian yang bekerja secara halus, sistematis, dan sering kali sulit dilawan. Negara, dengan dalih keamanan nasional, stabilitas politik, atau efisiensi ekonomi, memperluas kewenangannya untuk mengawasi, membatasi, bahkan membungkam warga melalui perangkat hukum yang secara formal tampak legal .
Kasus penggunaan spyware Pegasus di India menjadi contoh nyata bagaimana teknologi pengawasan dilegalkan untuk menyasar jurnalis dan aktivis kritis. Penyadapan dilakukan tanpa transparansi, tanpa mekanisme kontrol peradilan yang memadai, dan dibenarkan atas nama kepentingan negara. Pola serupa terlihat di Brasil, ketika regulasi keamanan siber justru digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis lingkungan yang menentang deforestasi Amazon .
Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalannya bukan sekadar penyalahgunaan hukum, melainkan perubahan fungsi hukum itu sendiri. Hukum bergeser dari alat perlindungan warga menjadi instrumen legitimasi kekuasaan.
Tekanan terhadap demokrasi tidak hanya datang dari negara, tetapi juga dari korporasi teknologi global. Platform media sosial beroperasi dalam wilayah abu-abu: mengklaim netralitas, tetapi menjalankan fungsi editorial melalui algoritma yang menentukan siapa yang didengar dan siapa yang disenyapkan.
Kasus Meta di Kenya memperlihatkan bagaimana moderasi konten dijalankan secara diskriminatif, sementara para pekerja moderasi dihadapkan pada kondisi kerja eksploitatif dan trauma psikologis tanpa perlindungan memadai. Sementara itu, perubahan kebijakan sepihak di platform X (Twitter) menunjukkan betapa rapuhnya ruang publik digital ketika dikendalikan oleh kepentingan individu dan korporasi tanpa akuntabilitas demokratis yang jelas .
Di titik ini, negara sering kali absen. Regulasi tertinggal jauh dari kecepatan perkembangan teknologi, sementara kepentingan bisnis berjalan lebih cepat daripada perlindungan hak warga.
Disrupsi teknologi, khususnya artificial intelligence, memperparah ketimpangan hukum. PHK massal di sektor teknologi global dan Indonesia menunjukkan lemahnya negara dalam melindungi pekerja. Perusahaan berlindung di balik dalih efisiensi dan hak prerogatif bisnis, sementara hukum ketenagakerjaan gagal menjawab realitas baru otomasi .
Situasi ini mengindikasikan krisis lebih dalam: negara kehilangan keberanian politik untuk mengatur kekuatan pasar. Ketika hukum tunduk pada logika modal, keadilan sosial menjadi korban pertama.
kum internasional pun menghadapi kebuntuan. Gugatan negara kepulauan seperti Vanuatu terhadap negara industri terkait krisis iklim menunjukkan keterbatasan hukum internasional dalam memaksa negara kuat bertanggung jawab. Demikian pula kasus pengungsi Rohingya di Bangladesh yang terjebak dalam status tanpa negara, tanpa perlindungan hukum yang jelas selama puluhan tahun .
Kondisi ini memperlihatkan bahwa hukum internasional sering kali hanya efektif terhadap negara lemah, tetapi tumpul ketika berhadapan dengan kepentingan geopolitik negara kuat.
Indonesia tidak berada di luar arus ini. Penggunaan pasal-pasal karet, kriminalisasi kritik, lemahnya perlindungan pekerja digital, serta absennya regulasi yang berpihak pada warga menunjukkan bahwa kita sedang berada di persimpangan penting. Apakah hukum akan tetap menjadi alat pembebasan, atau justru semakin menjauh dari rasa keadilan?
Jika hukum terus diposisikan sebagai instrumen kekuasaan, maka demokrasi hanya akan tersisa prosedur tanpa substansi. Pemilu tetap ada, undang-undang tetap disahkan, tetapi keadilan sosial perlahan dikosongkan dari maknanya.
Sejarah membuktikan bahwa perubahan tidak pernah lahir dari kenyamanan penguasa, melainkan dari tekanan masyarakat sipil yang menolak diam. Protes publik di berbagai negara, eksperimen demokrasi deliberatif, dan perlawanan warga terhadap kebijakan tidak adil menunjukkan bahwa ruang harapan masih ada .
Tantangannya kini adalah keberanian kolektif: berani mempertanyakan hukum yang tidak adil, berani menolak regulasi yang menindas, dan berani menuntut negara agar kembali menjalankan fungsi utamanya—melindungi warga, bukan mengontrol mereka.
Di era digital, perjuangan keadilan tidak hanya soal hukum tertulis, tetapi soal siapa yang mengendalikan hukum dan untuk kepentingan siapa hukum itu dijalankan.***
Ditulis oleh: Wiliam Agung Ende Pratama
(Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi)
Red.












