LANGITJAMBI, BUNGO_ Dalam dunia yang dipenuhi kebisingan informasi, jurnalis sering berada di tengah pusaran kepentingan. Pemerintah ingin dipuji, kelompok tertentu ingin dibenarkan, dan publik menuntut kepastian. Di tengah tekanan itu, muncul pertanyaan: apakah jurnalis boleh berpihak? Jawabannya jelas ya, tetapi hanya pada satu hal, kebenaran. Dan kebenaran itu harus lahir dari proses berpikir yang logis.
Keberpihakan pada kebenaran bukanlah keberpihakan politis. Ia bukan sikap memilih satu kubu dalam kontestasi kekuasaan. Keberpihakan seperti itu justru merusak fondasi profesi jurnalis. Namun berpihak pada kebenaran berarti menempatkan fakta sebagai pusat, dan menolak segala bentuk manipulasi yang mencoba menggoyahkannya. Di sinilah logika mengambil peran penting.
Dalam konteks logika, kebenaran adalah hasil dari proses penalaran yang valid. Ia tidak muncul dari asumsi kosong, tekanan kekuasaan, atau dorongan emosional. Kebenaran dicapai melalui pembuktian, verifikasi, dan konsistensi antara data dan realitas di lapangan. Maka, seorang jurnalis yang berpihak pada kebenaran harus mampu menunjukkan bahwa setiap informasi yang ia sajikan lahir dari proses berpikir yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berpikir logis dalam kerja jurnalistik juga berarti menghindari sesat pikir seperti generalisasi berlebihan, asumsi tak berdasar, atau narasi yang dibangun tanpa data. Ketika jurnalis terjebak pada fallacy, maka ia bukan hanya menyesatkan publik, tetapi juga mengkhianati prinsip dasar jurnalisme, memberi informasi yang benar. Tidak peduli seberapa besar tekanan dari luar, kebenaran tidak boleh dinegosiasikan.
Justru keberpihakan inilah yang menjaga jurnalisme tetap hidup. Ketika jurnalis memihak pada kebenaran, ia secara otomatis berpihak pada publik. Publik berhak mengetahui realitas apa adanya, bukan versi yang sudah dipoles oleh kekuasaan atau kepentingan tertentu. Dalam konteks ini, keberpihakan pada kebenaran adalah bentuk tertinggi dari tanggung jawab sosial jurnalis.
Di era saat ini, ketika berita palsu dan propaganda bertebaran, keberanian jurnalis untuk berpihak pada kebenaran menjadi semakin penting. Bukan hanya sebagai profesi, tetapi sebagai benteng terakhir rasionalitas. Teknologi boleh berkembang, narasi boleh dibentuk, tetapi logika tetap menjadi alat utama untuk membedakan fakta dari manipulasi.***
Penulis: Gusti Dian Saputra












